Sejarah Singkat GBIS

Sejarah Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS)



Kelahiran GBIS diawali dengan keluarnya Pdt. F.G. Van Gessel dengan beberapa pendeta lainnya dari GPdI dan membentuk BADAN PERSEKUTUAN GEREJA BETHEL INJIL SEPENUH (GBIS) di Surabaya pada tanggal 21 Januari 1952. GBIS lahir dari satu kerinduan untuk mendapatkan kembali gereja, bukan hanya sekedar sebagai satu organisasi gereja, namun juga sebagai ORGANISME, bersifat OTONOM dan memiliki jiwa FELLOWSHIP. Sejak kelahirannya, GBIS telah berkembang demikian cepatnya, sehingga dalam jangka waktu 15 tahun telah memiliki kira-kira 450 jemaat dengan 70.000 anggota yang tersebar di seluruh persada Nusantara. Sehingga dapat dikatakan, saat itu GBIS telah menjadi organisasi Pantekosta terbesar ke-2 di Indonesia setelah GPdI. Perjalanan sejarah GBIS mulai menurun pada tahun 1967. Perselisihan terjadi karena perbedaan visi dan filsafat. GBIS akan terus berkembang sangat pesat, apabila tidak terjadi malapetaka yang menyakitkan, yaitu perpisahan dengan GBI. Perpisahan ini tidak perlu terjadi, apabila BP-GBIS (saat itu) di bawah pimpinan Pdt. H.L Senduk bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan dengan CHURCH OF GOD (salah satu Gereja aliran Pantekosta yang besar di Amerika).
Hubungan kerja sama itu dituangkan dalam bentuk perjanjian peleburan (Amalgamation). Perjanjian dengan COG ini menjadi awal kemelut dalam tubuh GBIS yang berakhir dengan perpecahan GBIS dengan GBI pada tahun 1969 yang mencapai puncaknya saat dikeluarkan keputusan Menteri Agama R.I. No. 68 Tahun 1970, di mana antara lain diputuskan bahwa jemaat GBIS yang menolak perjanjian Amalgamation dengan Church of God, diakui sebagai badan persekutuan yang telah disahkan oleh Kementerian Agama dengan keputusan no. A/VII/16, tanggal 31 Januari 1953. Amalgamation dengan COG yang ditandatangani di Jakarta oleh Dr. H.L.
Senduk, Dr. The Sean King, Pdt. Ong Ling Kok, Pdt. Koe Soe Liem dan Pdt. A.I. Palealu pada tanggal 5 Februari 1967, dan di Cleveland, Tennesse pada tanggal 9 Maret 1967, telah menimbulkan pro dan kontra dalam tubuh GBIS. Pihak yang pro-amalgamation mengangap bahwa hubungan ini adalah semata-mata hubungan kemitraan belaka. GBIS tetap berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan COG. Hubungan kemitraan ini sebagai hal yang sangat menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan GBIS, karena COG akan membantu GBIS secara finansial. Sebagai bukti dukungan COG kepada GBIS yaitu dengan menyediakan dana untuk membangun seminari Bethel di Jakarta (yang sebenarnya milik GBIS), satu
lembaga Alkitab yang setara dengan Perguruan Tinggi. Di lain pihak, mereka yang menolak atau menentang perjanjian amalgamation dengan COG menuduh bahwa BP-GBIS (waktu itu) telah “menjual” GBIS kepada COG, dengan menjadikan GBIS sebagai “bagian” dari COG. Itu berarti bahwa GBIS telah “dilebur” dalam COG. Tuduhan tersebut tidaklah berlebihan karena dalam naskah persetujuan yang ditandatangani oleh Church of God (COG) dan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di Jakarta pada tanggal 5 Februari 1967 dan di Cleveland Tennesse, USA, tanggal 9 Maret 1967 memuat butir-butir persetujuan yang mengarah pada peleburan antara GBIS dan COG. Bukti persetujuan adalah sebagai berikut : 

  1. Nama “Gereja Bethel Injil Sepenuh” (Bethel Full Gospel Church) dalam bahasa Inggris, menjadi “Gereja Bethel Injil Sepenuh dari Allah” (Bethel Full Gospel Church of God). 
  2. Tiap Pendeta atau Missionari Church of God yang sah yang akan melayani di Indonesia akan menjadi anggota Majelis Besar Gereja Bethel Injil Sepenuh dari Allah dengan hak suara penuh, demikian juga sebaliknya tiap Pendeta GBIS yang sah, menjadi anggota Majelis Besar dari Church of God dengan suara penuh. 

Pro-kontra amalgamation semakin berkembang dengan munculnya isu-isu bahwa ada “aliran berkat” di balik perjanjian ini yang hanya dinikmati oleh orang-orang yang dekat dengan “elite” BP. Konon terbetik kabar bahwa jemaat-jemaat anggota COG secara periodik mendapat bantuan dari COG berupa dana yang besarnya dihitung per kapita jumlah anggota jemaat sesuai dengan yang telah ditentukan oleh COG. Akibatnya kecurigaan semakin kuat bahwa tujuan amalgamation tersebut adalah untuk mendapatkan keuntungan materi belaka, yang dianggap hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja. Apalagi Yayasan Bethel yang dibentuk dalam rangka amalgamation tersebut pengurus-pengurusnya adalah “orang-orang dekat” Ketua BP. Pertanyaan yang selalu muncul di antara petugas GBIS tersebut adalah ke mana larinya dana dari COG tersebut. Sebab itu dapat dikatakan bahwa salah satu penyebab pertikaian yang bersumber dari Perjanjian Amalgamation dengan COG adalah “tidak adanya keterbukaan” dari BP-GBIS (saat itu) yang akhirnya menimbukan kecurigaan-kecurigaan yang semakin tinggi, dalam hal yang berkisar masalah keuangan.
 
Dalam SMB X di Solo tanggal 21 Juni 1968 telah dicoba juga untuk menjernihkan persoalan. Namun rupanya upaya tersebut belum mampu menyelesaikan secara tuntas. Bahkan bayang-bayang perpecahan dalam tubuh GBIS telah mulai nampak. Karena dipandang Badan Penghubung GBIS telah melakukan penyelewengan serta melanggar Tata Gereja, maka Badan Penasehat selaku badan yang mengawasi kerja Badan Penghubung, mengadakan pertemuan di Parapat (Danau Toba) dari tanggal 17 - 19 Juli 1969. Pertemuan Badan Penasehat ini dihadiri oleh Pdt. J.L. Pardede (alm), Pdt. B.H. Pardede (alm), Pdt. J.S.A.O. Papilaya (alm), Pdt. S. Chandrabuana Chr. (alm). Pdt. J. Setiawan (alm), Pdt. Bagenda (alm), Pdt. A. Simangunsong (alm). Dalam pertemuan Badan Penasehat / MUBAPEN yang agak bersifat kontroversial – di Parapat tersebut diputuskan untuk memecat Pdt. Dr. H.L. Senduk dan kawan-kawan, dan selanjutnya menetapkan Pdt. J. Setiawan selaku ketua BP-GBIS yang berkantor di Solo. Segera muncul dualisme kepemimpinan dalam tubuh GBIS. Kelompok pertama adalah kelompok Jakarta yang tetap mengakui Pdt. Dr.H.L. Senduk selaku Ketua BP-GBIS. Kelompok kedua adalah kelompok Solo yang mengakui Pdt. J. Setiawan selaku Ketua BP-GBIS. Selama beberapa waktu, hampir setiap hari surat-surat dikirim ke seluruh petugas yang isinya pernyataan-pernyataan dari kedua BP-GBIS, baik yang bersifat penjelasan maupun
bersifat “serangan” balik atas masing-masing pernyataan. Suasana keprihatinan menguasai para petugas GBIS melihat terjadinya kemelut dalam Badan Persekutuan yang sedang berkembang pesat ini. Di samping kelompok yang pro dan kontra, masih ada kelompok lain yang memutuskan pindah ke organisasi lain, misal GBIS Mojokerto, yang bergabung dengan GIA. Oleh karena segala upaya untuk menyelesaikan tidak berhasil, maka dengan terpaksa GBIS harus mencari keadilan pada pemerintah. Akhirnya pemerintah c.q. Menteri Agama R.I. campur tangan dalam penyelesaian konflik intern GBIS tersebut dengan mengeluarkan keputusan Menteri Agama No. 68 tahun 1970 tangal 16 Mei 1970. Dengan terbitnya keputusan ini berarti Pdt. Dr. H.L. Senduk harus meninggalkan GBIS (kelak Pdt. H.L. Senduk pada tahun 1970 mendirikan Gereja Bethel Indonesia (GBI), Sementara Pdt. J. Setiawan diakui sebagai ketua BP-GBIS. Satu perpisahan sangat menyedihkan memang, namun itulah kenyataan sejarah GBIS. Namun yang sudah lalu biarlah berlalu. Setiap persoalan yang terjadi pasti ada pelajaran indah yang dapat dipetik.
 
GBIS Pasca Perpecahan
Sidang Majelis Besar pertama pasca perpecahan adalah Sidang Majelis Besar XII yang diadakan di Solo dari tanggal 6 - 8 Oktober 1970 yang dihadiri oleh 168 pendeta dan pendeta pembantu. Keputusan pertama yang diambil adalah “mengesahkan keputusan Sidang Mubapen tahun 1969 di Parapat sebagai keputusan Sidang Majelis Besar XII”. Dengan demikian Sidang Mubapen Parapat, yang di akui oleh 8 (delapan) pendeta, mendapat “pengakuan yuridis” baik dari pemerintah c.q. Menteri Agama R.I. maupun dari instansi tertinggi GBIS, yaitu MAJELIS BESAR.
 
Sidang Majelis Besar XII juga menetapkan :
Pdt. J. Setiawan sebagai Ketua BP-GBIS.
Pdt. Gideon Soeprapto sebagai Sekretaris.
Pdt. Dr. Pontas Pardede sebagai ketua PPBSI.
Pdt. I. Kurniawati sebagai ketua PWBIS. 
 
Pasca perpecahan, GBIS tetap berjuang sekalipun ditinggalkan oleh lebih dari setengah petugas-petugasnya. GBIS tidak pernah berhenti berjuang sesuai dengan tugas dan panggilan yang Tuhan sudah percayakan pada GBIS. Dan sekarangpun dalam usianya yang ke 51 tahun, GBIS tidak pernah berhenti untuk berjuang, dan itu semata-mata oleh berkat pertolongan Tuhan. Dalam kurun waktu antara tahun 1970 - 2004, Badan Persekutuan GBIS telah melaksanakan 12 (dua belas) kali Sidang Majelis Besar untuk berfellowship, mengevaluasi serta menetapkan langkah-langkah GBIS ke depan dalam tugas pelayanan di bumi pertiwi ini, di samping pula untuk mengangkat, memberhentikan petugas GBIS dan tugas-tugas organisatoris lainnya.
Keduabelas Sidang Majelis Besar tersebut adalah sebagai berikut :

Sidang Majelis Besar XII
Solo
Tgl. 06-08 Oktober 1970
Sidang Majelis Besar XIII
Solo
Tgl. 02-05 Oktober 1973
Sidang Majelis Besar XIV
Tawangmangu
Tgl. 16-18 Maret 1976
Sidang Majelis Besar XV
Tawangmangu
Tgl. 26-30 Maret 1979
Sidang Majelis Besar XVI
Jakarta
Tgl. 22-26 Agustus 1983
Sidang Majelis Besar XVII
Solorejo/Batu
Tgl. 27-30 Agsutus 1985
Sidang Majelis Besar XVIII
Batu/Malang
Tgl. 03-06 Nopember 1987
Sidang Majelis Besar XIX
Batu/Malang
Tgl. 09-12 Oktober 1990
Sidang Majelis Besar XX
Bandung
Tgl. 26-29 Oktober 1993
Sidang Majelis Besar XXI
Karangpandan
Tgl. 17-20 September 1996
Sidang Majelis Besar XXII
Wisma Kinasih
Tgl. 05-08 September 2000
Sidang Majelis Besar XXIII
Solo
Tgl. 09-12 September 2003
 
Di samping Sidang Majelis Besar, Badan Persekutuan GBIS pernah melaksanakan Musyawarah Kerja Nasional pada tanggal 16 - 18 September 1998, di Sarangan, Madiun, Jawa Timur. Inti dari Mukernas ini 80% mengarah kepada pembinaan dan 20% kepada hal-hal yang bersifat organisatoris. Kegiatan Mukernas ini dihentikan, karena dalam pelaksanaannya banyak menimbulkan kontroversi. Dalam rangka kerja sama dengan Australian Church of Fellowship dari Melbourne Australia, GBIS pernah melaksanakan Intensive Course for Trainers yang dilaksanakan di Wisma El Bethel, Karangpandan-Solo, pada tanggal 7 - 10 September 1996. Tujuan utama dari pelatihan ini adalah untuk memberi bekal kepada petugas-petugas GBIS dalam mempersipkan pembentukan sekolah-sekolah jemaat, guna memperkembangkan pekerjaan Tuhan di jemaat masing-masing. Masuknya beberapa tokoh muda dalam BP-GBIS sebagai hasil SMB XVI di
Jakarta, antara lain Pdt. Paulus Ruswiyadi, Pdm. Drs. Darmo Handoyo (sekarang Pdt), Pdt. David Soemantri, Pdm. Markus Agung Suprapto (sekarang Pdt. dan telah keluar dari GBIS), memberi arti sendiri bagi GBIS. Dua di antaranya yaitu Pdt. Paulus Ruswiyadi dan Pdm. Drs. Darmo Handoyo kelak akan menjadi Ketua Badan Penghubung GBIS.
Namun ada hal-hal yang menjadi catatan pasca perpecahan, yaitu terhentinya kegiatan-kegiatan komisi, baik Komisi Wanita (WBSI - sekarang WBIS) maupun Komisi Pemuda (PPBSI - sekarang PBIS (Pemuda Bethel Injil Sepenuh)). Gebyar pertemuan komisi, terutama Komisi Pemuda, berupa Kongres Konferensi Nasional (KKN), yang merupakan ajang pertemuan para teruna GBIS, yang biasanya diselenggarakan dengan segala kesemarakkannya, tidak lagi nampak. Kongres Konferensi Nasional PPBSI yang ke 11 yang dilaksanakan di Tegal tanggal 29 Agustus 1969, adalah KKN PPBSI terakhir yang diselenggarakan menjelang perpecahan. Bahkan KKN XI PPBSI ini dianggap sebagai arena “brain washing” para pemuda untuk mendukung perjanjian amalgamation dengan COG. Itu juga sebabnya banyak di kalangan jemaat
GBIS saat itu yang masih dihinggapi rasa “pemuda phobia”, sehingga antara SMB XII tahun 1970 s.d. SMB XVI tahun 1983, praktis tidak nampak kegiatan Komisi Pemuda GBIS.
GBIS mendirikan STT Torsina
Alamat Kantor Sinode Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS):
Jalan Wonorejo IV No. 58-62A SURABAYA 60623,
Jawa Timur Telp./Fax. (031) 531.9045/531.3454
Ketua Sinode : Pdt Drs Darmo Handoyo, APT
Sekretaris : Pdt David Soemantri, SH
 
Sekretariat Badan Penghubung
GBIS
Pdt. Jonatan Jap Setiawan, S.Th., M.A.
Jl. Raya Grogol 192B, Bacem, Sukoharjo - 57552,
Telp. (0271) 5851555, Fax. (0271) 630743. Email
: bp-gbis@telkom.net